Norberta Yati Lantok : Credit Union Datang Merancang Ekonomi Keluarga
MENJADI aktivis ekonomi kerakyatan, khususnya di gerakan Credit Union
(CU) adalah panggilan. Menempuh perjalanan 12 jam naik bus umum,
kemudian menjelajah perdesaan, keluar masuk kampung dilakoninya
bertahun-tahun. Kalau ada sepeda motor (ojek) diantar pakai sepeda
motor, tapi kalau tidak ada harus jalan kaki berkilo-kilo meter.
Melewati jembatan yang hanya sekeping papan, sering. Tengah malam
melewati perkebunan sawit, jalanan becek atau hujan deras pun biasa.
“Akibatnya jatuh sakit. Kalau bukan panggilan, sudah lari,” tutur Norberta Yati Lantok, menceritakan perjalanan panggilannya 15 tahun silam.
Ketika menghadapi kondisi dan medan perjalanan berat, dalam hati kecilnya timbul pertanyaan; “Kenapa saya bekerja seperti ini? Pekerjaan lain, banyak. Paling tidak, kalau meneruskan jadi guru tidak mengalami panas – hujan dan gelap gulita di tengah hutan.” Namun kenyataannya, Yati tak pernah jera. Dengan senang hati dia tetap hadir di tengah-tengah masyarakat perdesaan di Kalimantan Barat yang masih sangat-sangat sederhana. Jika bukan aktivis militant, dan sangat mencintai CU, sulit rasanya untuk bisa bertahan setahun saja. “Saya merasa menjadi aktivis CU menemukan tujuan hidup,” tegasnya.
Ketika kerja keras itu memberikan manfaat kepada banyak orang, puas. Semua kesulitan dan berbagai rintangan terbayar kebahagiaan. Jika ukurannya hanya financial – uang, kata Yati, kerja di mana saja dapat uang. Bahkan bisa dapat lebih besar daripada di CU. Karena hati merasakan pasnya di CU, apa pun masalah yang dialami dianggap bukan masalah. “Kalau memang menjadi alat-Nya, pakailah saya. Kalau saya tidak mampu, mampukanlah. Saya tidak punya apa-apa. Tiangnya hanya satu, Dia yang di atas,” urai Yati saat diwawancarai Majalah UKM di salah satu hotel berbintang di Jogya, dicelah-celah kesibukannya mengikuti Rapat Anggota Tahunan (RAT) Induk Koperasi Kredit (Inkopdit) pertengahan Mei 2012 silam.
Profesi sebagai guru, pekerjaan mulia yang cita-citakan waktu kecil ditinggalkan lalu mengembangkan CU bukan berarti jiwa pendidiknya luntur. Salah satu prinsip CU adalah pendidikan. “Jadi tidak lepas begitu saja dari dunia pendidikan. Saya bisa memanfaatkan skill – keahlian sekaligus berinteraksi dengan banyak orang, memotivasi agar orang paham gerakan CU itu bagaimana,” tutur Yati seraya mengaku dirinya “tersasar” CU tahun 1997 silam.
Seperti lagunya Memes, Terlanjur Sayang, sekarang, kata dia, hati nurani dan darah dagingnya adalah CU. Hidup matinya pun diperuntukan bagi gerakan CU. “Nasib saya, pekerjaan, maupun nasib keluarga ada di CU. Saya sudah mempertaruhkan diri di CU. Menabung pun hanya di CU, tidak ada ditempat lain,” tegasnya.
Melihat perjuangannya yang luar biasa, sejak 6 tahun silam Yati didaulat oleh anggota untuk memimpin CU Pancur Kasih yang kala itu asetnya baru Rp 300-an juta. Menyadari bahwa kepercayaan anggota adalah amanah, Yati tidak menyia-nyiakannya. Karena tahu perkembangan dan masalah-masalah yang dihadapi CU, Yati mengaku, ketika dipercaya jadi pengurus mempertaruhkan apa yang dimilikinya.
“Hidup mati saya harus mengamankan apa yang saya punya. Dengan demikian orang lain – anggota pasti berpikir miliknya juga ingin diamankan. Tugas dan tangung jawab pengurus utamanya mengamankan lembaga, mengembangkan lembaga, kemudian mempertanggungjawabkannya kepada anggota yang telah mempercayakan untuk mengambil keputusan dan membuat kebijakan,” tutur Yati yang dulu bercita-cita ingin kuliah di ekonomi, tetapi kesasar kuliah bahasa Inggris lantaran tidak punya cukup uang untuk biaya di ekonomi.
Menjadi pengurus, lanjutnya, volunteer – sukarelawan tidak mendapatkan penghasilan. Andai pun ada honor, tidak mencukupi kebutuhan. Setelah kondisi CU Pancur Kasih berkembang mulai ada honor. Namun, kata dia, honor bukan satu-satunya. “Sering kerja tidak memikirkan uang. “Suatu saat ke daerah, tempatnya jauh dan perjalanannya melelahkan. Tetapi sangat senang ketika ketemu masyarakat, orang-orang kecil. Rasanya bahagia saja ketemu mereka, bisa berdialog tahu masalah yang dihadapi. Ketika masyarakat berubah menjadi lebih sejahtera rasanya cukup, tidak memikirkan yang lain-lain. Honor itu dibayar dengan kepuasan batin, jika melihat masyarakat lebih sejahtera,” urainya.
Ketika menghadapi kondisi dan medan perjalanan berat, dalam hati kecilnya timbul pertanyaan; “Kenapa saya bekerja seperti ini? Pekerjaan lain, banyak. Paling tidak, kalau meneruskan jadi guru tidak mengalami panas – hujan dan gelap gulita di tengah hutan.” Namun kenyataannya, Yati tak pernah jera. Dengan senang hati dia tetap hadir di tengah-tengah masyarakat perdesaan di Kalimantan Barat yang masih sangat-sangat sederhana. Jika bukan aktivis militant, dan sangat mencintai CU, sulit rasanya untuk bisa bertahan setahun saja. “Saya merasa menjadi aktivis CU menemukan tujuan hidup,” tegasnya.
Ketika kerja keras itu memberikan manfaat kepada banyak orang, puas. Semua kesulitan dan berbagai rintangan terbayar kebahagiaan. Jika ukurannya hanya financial – uang, kata Yati, kerja di mana saja dapat uang. Bahkan bisa dapat lebih besar daripada di CU. Karena hati merasakan pasnya di CU, apa pun masalah yang dialami dianggap bukan masalah. “Kalau memang menjadi alat-Nya, pakailah saya. Kalau saya tidak mampu, mampukanlah. Saya tidak punya apa-apa. Tiangnya hanya satu, Dia yang di atas,” urai Yati saat diwawancarai Majalah UKM di salah satu hotel berbintang di Jogya, dicelah-celah kesibukannya mengikuti Rapat Anggota Tahunan (RAT) Induk Koperasi Kredit (Inkopdit) pertengahan Mei 2012 silam.
Profesi sebagai guru, pekerjaan mulia yang cita-citakan waktu kecil ditinggalkan lalu mengembangkan CU bukan berarti jiwa pendidiknya luntur. Salah satu prinsip CU adalah pendidikan. “Jadi tidak lepas begitu saja dari dunia pendidikan. Saya bisa memanfaatkan skill – keahlian sekaligus berinteraksi dengan banyak orang, memotivasi agar orang paham gerakan CU itu bagaimana,” tutur Yati seraya mengaku dirinya “tersasar” CU tahun 1997 silam.
Seperti lagunya Memes, Terlanjur Sayang, sekarang, kata dia, hati nurani dan darah dagingnya adalah CU. Hidup matinya pun diperuntukan bagi gerakan CU. “Nasib saya, pekerjaan, maupun nasib keluarga ada di CU. Saya sudah mempertaruhkan diri di CU. Menabung pun hanya di CU, tidak ada ditempat lain,” tegasnya.
Melihat perjuangannya yang luar biasa, sejak 6 tahun silam Yati didaulat oleh anggota untuk memimpin CU Pancur Kasih yang kala itu asetnya baru Rp 300-an juta. Menyadari bahwa kepercayaan anggota adalah amanah, Yati tidak menyia-nyiakannya. Karena tahu perkembangan dan masalah-masalah yang dihadapi CU, Yati mengaku, ketika dipercaya jadi pengurus mempertaruhkan apa yang dimilikinya.
“Hidup mati saya harus mengamankan apa yang saya punya. Dengan demikian orang lain – anggota pasti berpikir miliknya juga ingin diamankan. Tugas dan tangung jawab pengurus utamanya mengamankan lembaga, mengembangkan lembaga, kemudian mempertanggungjawabkannya kepada anggota yang telah mempercayakan untuk mengambil keputusan dan membuat kebijakan,” tutur Yati yang dulu bercita-cita ingin kuliah di ekonomi, tetapi kesasar kuliah bahasa Inggris lantaran tidak punya cukup uang untuk biaya di ekonomi.
Menjadi pengurus, lanjutnya, volunteer – sukarelawan tidak mendapatkan penghasilan. Andai pun ada honor, tidak mencukupi kebutuhan. Setelah kondisi CU Pancur Kasih berkembang mulai ada honor. Namun, kata dia, honor bukan satu-satunya. “Sering kerja tidak memikirkan uang. “Suatu saat ke daerah, tempatnya jauh dan perjalanannya melelahkan. Tetapi sangat senang ketika ketemu masyarakat, orang-orang kecil. Rasanya bahagia saja ketemu mereka, bisa berdialog tahu masalah yang dihadapi. Ketika masyarakat berubah menjadi lebih sejahtera rasanya cukup, tidak memikirkan yang lain-lain. Honor itu dibayar dengan kepuasan batin, jika melihat masyarakat lebih sejahtera,” urainya.
Comments
Post a Comment
Thank you for visiting this blog. Please leave your comment here, regards.