Seabad Van Lith, Seabad Soegijopranata - Mengenal Sejarah Gereja Katolik di Indonesia

Barangkali akan dikatakan mengada-ada atau bahkan berlebihan kalau menyebut bahwa tahun 1896 adalah sebuah tahun penting bagi perkembangan Gereja Katolik Indonesia. Namun, menyimak bahwa pada bulan Oktober 1896 adalah saat pertama kalinya Rama van Lith menginjakkan kakinya di bumi Nusantara, lebih tepatnya di pelabuhan Semarang, maka pernyataan di atas kiranya akan dapat dipahami. Apalagi mengingat juga bahwa 25 Nopember 1896 adalah saat kelahiran Mgr. Soegijapranata, uskup pribumi pertama di Indonesia. Tak pelak lagi tahun 1896 adalah sebuah awal fajar baru bagi Gereja Katolik Indonesia. Membaca nama van Lith, dan Soegijapranata, orang dapat langsung berassosiasi dengan suatu pandangan tertentu yakni kekatolikan dan nasionalisme. Namun kekatolikan dan nasionalisme yang bagaimana inilah yang perlu direnungkan dan didalami maknanya. Kita akan merenungkannya lewat sekilas sejarah, gagasan serta perjuangan kedua tokoh tersebut.

Rm. Van Lith (kiri) dan Mgr. Soegijapranata, SJ (kanan)


Franz van Lith, SJ Riwayatnya Dulu

Rama van Lith, SJ, seorang Jesuit Belanda, semula tidak mengidamkan menjadi missionaris di Indonesia. Sebelum ada penunjukan dari pembesarnya untuk dikirim ke Indonesia, van Lith lebih mengidamkan menjadi misionaris di tanah leluhurnya sendiri, daratan Eropa. Berbeda halnya dengan Hoovenaar, salah satu teman Jesuit yang datang ke Jawa Tengah bersamanya. Hoovenaar sejak semula memang telah mengidamkan menjadi missionaris di Indonesia. Bersama dengan mereka berdua, pada waktu yang sama, ada 2 Jesuit lain yang dikirim ke Maluku.  Sesampainya di Jawa Tengah mulailah penunjukan karya bersama 2 Yesuit lain yang berada di Semarang. Untuk mereka berdua, masing-masing memimpin sebuah wilayah missi: van Lith di Muntilan dan Hoovenaar di Yogyakarta. Yang menjadi tugas pertamanya adalah mempelajari bahasa dan budaya setempat. Setelah pada tahun pertama van Lith menjalankan hal tersebut di Semarang, kemudian di Muntilan bertugas memberikan pelayanan pastoral[i]. Keterbukaannya untuk mau belajar dan menyelam ke dalam dunianya yang baru dan kesediaannya untuk melibatinya memang membuahkan hasil. Bahkan -boleh kita sebut- berlimpah. Salah satu kunci keberhasilan van Lith  dapat disandarkan pada salah satu komentar dari orang yang pernah mengalami langsung Rama van Lith yang menggambarkan sikap beliau dengan ungkapan 'manjing ajur ajer' (menyatu dan tidak berjarak, sepenuhnya memahami polapikir dan menghayatinya dalam perilaku sebagaimana orang-orang yang dilayaninya)[ii].  

Tujuan Pendidikan dan Penanganannya

Mendirikan sekolah bagi anak-anak pribumi di Muntilan adalah karya Rama van Lith kemudian. Ini dimulai dirintis pada tahun 1900 dengan murid yang hanya beberapa dan gedung yang seadanya. Kala itu anak-anak yang dididiknya sekaligus tinggal dalam asrama. Mengapa sekolah tersebut didirikan ? Apa tujuannya ? Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat kita temukan dalam satu surat yang ditulis Rama van Lith pada tahun 1904 yang mencerminkan hasil refleksi atas pengalamannya. 'Usaha missi di antara bangsa Jawa mulai dengan metoda yang salah: mewartakan Injil kepada individu. Kita harus insaf bahwa karya kita bergantung dari pendidikan pemimpin dan guru'. Sebuah rumusan yang bisa saja ditangkap bahwa pendekatannya bersifat elitis: kaum guru dan pemimpin. Namun kalau menyimak bagaimana usaha Rama van Lith berburu dan mencari murid: mendatangi sekolah-sekolah pribumi -yang juga membuat Soegija bersekolah di Muntilan, bercakap dengan kaum tani di pedesaan tempat Rama van Lith mengadakan kunjungan wilayah/stasi dengan tujuan antara lain menyadarkan kaum tani tentang pendidikan untuk anak-anak mereka, berpesan pada ex-alumni Muntilan untuk menyekolahkan anak-anaknya di Muntilan, akan dapat dipahami untuk siapa gagasan strategisnya tersebut diarahkan. Mendidik anak rakyat bawah sehingga pada gilirannya mereka menjadi pemimpin dan pendidik bagi anak-anak rakyat (bawah) lainnya. Tambahan lagi kalau memperhatikan bagaimana cara beliau mengajar dan berhubungan dengan muridnya di dalam kelas yang meretas hubungan hirarkis guru-murid, akan dapat kita pahami bagaimana gagasan pendidikan dan pengajaran tersebut dilaksanakan[iii]. Pilihan untuk terlibat dalam pendidikan bagi anak-anak pribumi merupakan sebuah karya terobosan sekaligus untuk menjawab sebuah kebutuhan aktual saat itu.  Ketika suasana masih berada dalam penindasan, kemiskinan, dan kurang cukupnya pendidikan bagi kaum pribumi, Rama van Lith memilih untuk berkarya di sana[iv]. Pilihan pendidikan, dan pilihan berkarya bagi kaum pribumi merupakan sebuah karya peloporan yang sungguh menerobos dari gaya tradisional para pendahulunya dalam karya mereka di Jawa.

Keyakinan akan daya guna atas pilihan karyanya di bidang pendidikan bagi generasi baru (anak-anak) serta pembaharuan yang akan dihasilkan dari pendidikan, sungguh diyakini kalau menyimak ungkapan yang ditulisnya ketika menghadiri sebuah upacara di Pendapa Kraton Mangkunegaran di Surakarta. Dalam sebuah catatan atas pengalamannya, Rama van Lith menulis demikian:

Pada upacara pernikahan Sri Mangkunegara dari Surakarta, saya ikut duduk di pendopo agung. Anak-anak dari sekolah-sekolah Jawa berpawai sebagai pramuka di hadapan Mangkunegara. Kebetulan pagi itu saya baru saja mengunjungi salah satu dari sekolah-sekolah itu. Gurunya waktu itu tidak ada di halaman dan anak-anak sedang bermain serdadu-serdaduan. Seorang memberi aba-aba, yang lain mengikuti. Saya kagum bahwa komandannya dapat memberikan perintahnya dengan nada yang tegas, suatu hal yang sama sekali tidak biasa dilakukan oleh orang Jawa dari generasi tua ! Anak buahnya mengikuti perintah dengan cepat dan tepat. Pada waktu itu saya berpikir: alangkah besarnya pengaruh pendidikan pada mentalitas orang Jawa! Hari itu, pada saat saya menyaksikan ratusan pramuka dari Surakarta berbaris, dalam pikiran saya terlintas: kita tidak perlu kuatir akan pemimpin-pemimpin Jawa masa kini, tetapi di sini telah berdiri pasukan yang nantinya akan mengusir kita ke dalam laut"[v].

Bahwa ternyata  usaha rintisannya kemudian menghasilkan orang-orang yang menjadi soko guru bagi gereja pribumi, Gereja Katolik Indonesia, itu merupakan proses perjalanan berikutnya. Sebuah hasil yang tidak lepas dari cara menanggapi dari generasi penerus yang telah mengenyam didikannya, menimba inspirasi dari Rama van Lith  serta mendapat pendampingan Rama van Lith dalam proses awalnya[vi].


Suasana Kesehariannya

Sebagai sebuah karya perintisan, karya pendidikan yang diawali oleh Rama van Lith dimulai dengan hal yang sangat sederhana. Dokumen yang ditulis salah satu bekas muridnya berikut kiranya dapat memberi sedikit gambaran. Mengenai gambaran keadaan bangunan yang dipakai dilukiskan sebagai berikut:

Rama van Lith sekolahnya terpaksa membangun dulu. ... Anak-anak dibuatkan rumah sendiri, juga dengan bangun rumah model limasan (salah satu model rumah Jawa), beratap genting, berdinding bambu, tempat tidurnya dari bambu, lantainya tanpa ubin (tanah). Gerejanya sangat kecil, modelnya pencu, seperti rumah orang-orang Semarang tempo dulu; (ketika saya datang ke Muntilan tahun 1924, bekas gereja tersebut masih ada) perlengkapannya gereja sangat sederhana tanpa hiasan macam-macam. Bangunan sekolahnya model klabang nyander (model rumah Jawa yang lain) beratap atep (ijuk, jerami ?), berdinding bambu, mejanya rendah, duduknya di bawah menggunakan tikar, yang menjadi guru Arijadi -bekas murid yang tahun-tahun sebelumnya sudah ikut belajar di Lamper, Semarang (pen.)- bersama 2 orang teman lainnya [vii].

Itulah gambaran situasi awal di mana Rama van Lith dan murid-murid pertamanya memulai proses pendidikan untuk anak-anak pribumi di sekolah mereka yang kemudian diberi nama 'Kolese Xaverius', tempat yang sekarang dikenal sebagai SMA van Lith, Muntilan.

Mengenai suasana sehari-hari digambarkan dalam kesaksian lebih lanjut sebagai berikut:


Rama van Lith kalau tidak bepergian, sangat senang ikut bermain bersama anak-anak dengan permainan: dhomino, Wilhelminaspel, gansenspel, dham, macanan dan lain-lain; yang menjadi favoritnya adalah catur. Selain permainan-permainan di atas, juga disediakan gambang dan gamelan. Pada suatu hari, ketika waktu ashar, Rama Van Lith sedang duduk di kursi malas di ruang depan dikerumuni anak banyak, bercerita tentang keadaan Eropa, hal-hal lucu, dan yang menimbulkan ketakjuban. Pada saat itu cuaca mendung, hujan rintik-rintik, diselingi guruh dan halilintar dengan kilat yang menyambar-nyambar. Berhubung setiap kali ada kilat, rama memerintah anak-anak untuk berpencar membentuk kelompok tiga atau empat orang dan bermain di ruang dalam atau belakang. Baru saja berebut mencari teman kelompok dan tempat bermain, tiba-tiba di ruang depan terdengar suara guruh, mengejutkan. Anak-anak yang masih berkerumun di sekitar rama berseru: " Rama, rama, langit-langit di atas kepala Rama rusak dan terbakar" ... Setelah anak-anak terlihat berkumpul, rama bertanya: "Apakah ada yang celaka?" Jawab mereka: "Semua selamat".
Kalau di dalam kelas Rama van Lith mencoba menjembatani hubungan guru-murid yang hirarkis dengan sebuah kedekatan(lihat catatan kaki No. 4), dalam kehidupan asrama Rama van Lith mengajak keterlibatan dan tanggung jawab antar sesama. Dalam kehidupan asrama sehari-hari, kalau ada anak didik yang sedikit nakal sehingga menyelinap ke luar asrama dan sampai larut malam belum pulang, ia akan membangunkan anak yang lebih besar untuk pergi mencari anak yang belum pulang itu. Suatu hal yang tentu membuat gerutu pada anak yang sudah pulas tidur, apalagi terpaksa harus bangun dan mencari temannya sampai ketemu. Kalau gerutuan itu terdengar oleh Rama van Lith, ia akan menanggapinya dengan tertawa sambil berkata, 'Bocah, kowé aja garenengan, kangèlanmu aku sing nrima; sarta mikira lan rumangsaa yen begja, déné kowe wis bisa mitulungi ngentasaké sadulurmu saka ing bilai' (Anakku, kamu jangan menggerutu, biar kesulitanmu aku yang menangggungnya; berpikirlah dan merasalah bahwa kamu beruntung karena bisa menyelamatkan saudaramu dari bahaya) [viii].

Usaha untuk melibatkan anak didiknya dalam hal tanggung jawab tersebut sejak awal sudah memperlihatkan buahnya. Suatu ketika  Rama van Lith mengajukan surat permohonan bantuan kepada pemerintah Belanda untuk memperoleh bantuan guna pengembangan gedung sekolah dan asrama. Tanpa diminta atau disuruh oleh Rama van Lith murid-muridnya pun membuat hal yang sama. Para murid membuat surat permohonan kepada Gubernemen di Jakarta untuk mendapat bantuan kayu guna memperbaiki dan memperluas gedung sekolah mereka. Dan usaha mereka -baik Rama van Lith mau pun muridnya- ternyata berhasil, artinya permohonan mereka dikabulkan. Tentu hal demikian bukanlah tonggak kecil yang semakin menumbuhkan keberanian mereka untuk turut mengambil prakarsa untuk ikut bertanggung jawab.

Pemihakannya kepada Yang Tertindas dan Penanaman Cinta Tanah Air

Sebagai akibat makin berkembangnya sekolah yang dirintisnya, Van Lith akhirnya tidak bisa berkarya sendirian. Untuk sekolahnya, yang kemudian bernama Kolese Xaverius, Muntilan, beliau mendapat bantuan Jesuit yang lain, baik imam-bruder maupun skolastik yang sedang menjalani masa formasi. Salah satunya adalah Rama van Driessche. Bagi I.J. Kasimo -yang mengenyam pendidikan di Muntilan antara tahun 1912 - 1917 - salah satu ajaran Rama van Driessche yang sangat dikenangnya adalah interpretasi atas pokok keempat dari 10 Perintah Allah. Dalam interpretasi atas perintah keempat dari 10 Perintah Allah tersebut, perintah 'Hormatilah ibu bapamu' tidak melulu diartikan sebagai terbatas pada penghormatan dan kecintaan terhadap orang tua yang telah melahirkan dan merawat, melainkan juga kepada semua pihak yang telah turut memberi makan dan kehidupan[ix]. Ini berarti juga hormat dan kecintaan kepada tanah air, suatu usaha mengugah semangat patriotisme. Dengan demikian berarti sebuah semangat kristiani yang diwujudkan dalam suasana setempat mengena, mendasar dan sekaligus menggugah karena menanamkan kesadaran untuk hormat dan cinta kepada tanah air, suatu usaha mengugah semangat patriotisme dalam situasi penjajahan.

Dalam lingkup sejarah pergerakan politik di Indonesia, kesadaran akan satu tanah air ini tonggak dasarnya akan diletakkan pada Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 dengan ikrarnya Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Indonesia. Kalau dilacak mundur yang mengacu pada riwayat pemunculan, penggunaan nama Indonesia serta pemasyarakatannya dalam pergerakan nasional muaranya akan menuju pada pergerakan pelajar Indonesia yang tengah belajar di negeri Belanda sekitar tahun 1920an [x].

Bagi Rama van Lith sendiri pemihakan terhadap kaum pribumi, dengan segala hak-haknya menjadi makin nyata pula dalam percaturan politik sehubungan dengan pengangkatannya sebagai anggota Heerzeningcommittee[xi]. Dalam tulisannya yang berkenaan dengan hal ini van Lith mengingatkan kepada golongan Kristen Belanda, yang akan juga memberi getah kepada golongan Kristen yang lain sebagai berikut: 

Keinginan untuk mendominasi setiap orang Jawa, hanya karena dia seorang Jawa, sama halnya dengan bermain api. Hargailah hak-hak orang pribumi, kalau kamu juga menginginkan hak-hakmu diakui. Lepaskanlah dengan sukarela hak-hakmu yang semu, dan tanggalkan juga privilegi-privilegi yang kalian peroleh. Ingatlah bahwa di dalam Gereja Kristus tidak ada lagi pembedaan apakah dia orang Jahudi, orang Romawi atau orang Yunani, juga tidak ada pembedaan apakah dia orang Belanda atau orang Jawa. Dan kiranya apa yang sejak awal telah menjadi norma di dalam gereja sekarang hendaknya menjadi norma juga di luar gereja: orang Belanda, orang-orang Indo Eropa dan orang-orang Jawa  mulai sekarang dan seterusnya akan hidup sebagai saudara. Jika tidak maka dalam waktu dekat pasti akan terjadi perpecahan[xii].
Dalam ungkapannya lebih lanjut van Lith menyatakan bagaimana kekecewaan dia terhadap peri laku orang Belanda yang ada serta pesan bagi orang-orang Katolik.

Dalam pandangan umum diketahui bahwa setiap orang Belanda adalah orang Kristen, padahal di Hindia Belanda hampir tiap orang Belanda yang adalah Kristen telah memberi cap yang salah /negatif bagi missi Protestan dan Katolik karena semua pelanggaran dan kesalahan setiap orang Belanda ditimpakan kepada semua orang Kristen. Karenanya perlu untuk mengoreksi gambaran salah ini, dan orang Jawa telah mulai melihat terhadap missi Katolik sebagai kekuatan yang menjaga jarak terhadap nasionalisme Belanda serta berusaha menjalin hubungan lebih erat dengan jiwa hidup orang-orang Jawa. Keyakinan bahwa Gereja Katolik berjuang keras untuk perkembangan dan kesejahteraan orang-orang Jawa dan tidak mempunyai maksud tersembunyi untuk Belanda, membuat orang-orang Katolik berseberangan dengan para pengeruk uang dan para penindas. Dan ini perlu makin lama makin kuat[xiii].
Dalam pembelaan terhadap kaum pribumi tersebut Rama van Lith tidaklah hanya berteori dan berkata-kata kosong, karena justru tulisan tersebut dibuat sebagai hasil refleksi atas pengalamannya. Kesaksian bekas muridnya menyebutkan bagaimana Rama van Lith mencarikan pekerjaan untuk murid-muridnya yang tidak berminat untuk meneruskan belajarnya, atau membela orang pribumi yang beperkara dengan pemerintah. Dalam hal ini Rama van Lith akan datang sendiri menemui pegawai pemerintah yang berhubungan dengan orang yang dibelanya.  Selain itu Rama van Lith juga memberikan pengertian hak-hak kaum pribumi ketika mengadakan kunjungan ke wilayah-wilayah pedesaan[xiv]. Dengan demikian pembelan terhadap kaum lemah tidak melulu dengan memberi nasehat dan pertimbangan. Tidak pula melulu bantuan karitatif. Tetapi pembelaan keadilan baik penyadaran akan hak-hak mereka, mau pun pembelaan nyata berhadapan dengan instansi yang berwenang.

Kesan orang terhadap Rama van Lith

Rama van Lith telah hadir selama 30 tahun di Jawa Tengah (1896-1926) sebagai salah satu perintis yang mengintegrasikan kekatolikan dengan semangat -dalam arti tertentu- nasionalisme[xv]. Selain seorang Bruder Jesuit Jawa yang menyebut pribadi Rama van Lith telah 'manjing ajur ajer' dengan budaya dan masyarakat Jawa, J. Sastradwija -salah seorang murid angkatan pertama- menulis kesaksian pengalamannya bersama Rama van Lith sepanjang 34 halaman. Berbagai peristiwa yang dialaminya bersama Rama van Lith ditulisnya: ketika ia menjadi murid dan diajak ke stasi ia diselimuti dengan jubahnya ketika tidur malam kedinginan, ketika temannya sakit dan sampai meninggal Rama van Lith mengurus segala hal sampai dengan misa Requiemnya, ketika membantu menjadi pengawas asrama ia dibangunkan untuk mencari anak didiknya yang sampai larut malam belum kembali ke asrama, ketika sudah menjadi guru di daerah lain dan menyambut kunjungan Rama van Lith dengan menyembelih ayam untuk lauknya ia ditegur karena dianggap melakukan pemborosan. Tom Jacobs menuliskan kesan tentang Rama van Lith sebagai seorang pendiam, tidak pandai omong dan bergaul kendati ia mengusahakan diri untuk menjadi dekat dengan umat, sekaligus van Lith adalah seorang pemikir sungguh yang memiliki jiwa imam yang luhur dan penuh kasih[xvi]. Selain itu masih ada beberapa kesan lainnya[xvii]. Sekarang yang masih tertinggal selain sebuah sekolah yang menggunakan namanya adalah sebuah makam di kompleks Kerkop Muntilan dengan sebuah cungkup putih sederhana dengan sebuah tulisan pada batu nisannya: 

Rama F. van Lith, SJ
ingkang ambakali missie ing tanah Djawi
Mijos ing Oirschot, Noord-Brabant 17 Mei 1863
Dados imam kala taoen 1894
Seda wonten ing Semarang 9 Djanoewari 1926
Pisoengsoeng saking para poetra poeroehita

Semangat van Lith berlanjut pada Soegijapranata

Soegija -nama kecil dari Mgr. Soegijapranata, SJ- adalah salah satu murid Rama van Lith yang berhasil dijaringnya dari kunjungannya ke sekolah-sekolah rakyat kaum pribumi. Sejak masa awal saat memasuki pendidikan yang dikelola van Lith, Soegija menyatakan tidak ingin menjadi Katolik. Ia menyatakannya tidak hanya kepada ayahnya juga kepada Rama Mertens, Rama pamongnya di Muntilan. Bahkan ia mengejek Rama Belanda datang ke Jawa, Indonesia hanya untuk mengeruk kekayaan setelah itu akan pulang ke negeri Belanda. Bahwa setelah setahun tinggal di Muntilan, Soegija kemudian mengikuti  pelajaran magang untuk agama Katolik, mulanya lebih didorong oleh keinginan tahunya. Namun toh kemudian ia minta dibaptis[xviii].

Tahun 1915, Soegija lulus dari Kweekscool Muntilan lalu setahun menjadi guru di almamaternya. Setahun kemudian ia mengajukan diri untuk menjadi imam dalam ordo Serikat Jesus. Untuk itu Soegija menjalani persiapannya dengan belajar bahasa Yunani dan Latin selama 2 tahun di Muntilan. Masih ditambah 1 tahun lagi di Belanda untuk persiapan bahasa. Selesai menjalani kuliah Filsafat, antara tahun 1926-1928, Soegija mengajar di almamaternya di Muntilan serta menjadi redaktur mingguan Katolik berbahasa Jawa Swaratama. Kemudian melanjutkan studinya lagi di Belanda sampai ditahbiskan imam. Baru mulai bulan Agustus 1933, Soegija pulang ke Indonesia. Ia berkarya sebagai pastor paroki di Bintaran, Yogyakarta -sebuah paroki untuk kaum pribumi- sampai pada tanggal 7 Agustus 1940 dipilih oleh Pius XII untuk menjadi Vicaris Apostolic di wilayah Semarang.

Sebelum kepindahannya ke Semarang sebagai uskup, Soegijapranata mengungkapkan salah satu rahasia pribadinya. Mgr. Soegijapranata mengungkapkan bahwa yang menjadi motivasinya dalam memilih jalan hidupnya untuk menjadi imam bukanlah melulu alasan religius saja tetapi sekaligus juga didorong oleh nasionalismenya.

... keputusanku untuk menjadi imam itu karena didorong untuk mengabdi bangsa. Saya telah mencari beberapa kemungkinan profesi, tetapi tidak ada yang lebih memungkinkan untuk memuliakan Tuhan dan sekaligus untuk mengabdi bangsa selain menjadi imam [xix].

 Semangat pengabdian kepada Gereja, negara dan bangsa ini secara terus menerus ditunjukkan dalam seluruh perjalanan hidup selanjutnya. Ketika pemerintah Indonesia menghadapi serbuan Agresi Belanda dan memindahkan ibukota negara ke Yogyakarta, Mgr. Soegijapranata menunjukkan solidaritasnya dengan memindahkan pusat pemerintahan keuskupannya dari Semarang ke Bintaran Yogyakarta. Beliau juga mengurus kepentingan keluarga Presiden Soekarno yang ada dalam pengungsian saat itu. Selain itu semangat tersebut ditularkan pula melalui surat-suratnya serta berbagai pidatonya dalam berbagai kesempatan baik dalam konferensi maupun melalui radio. 

 "100% Katolik, 100% Indonesia"

Mgr. Soegijapranata, SJ

Sampai saat ini di kalangan orang Katolik semboyan Mgr. Soegijapranata "100% Katolik, 100% Indonesia" tetap sangat populer. Sebuah ungkapan yang mencerminkan ajakan untuk mengintegrasikan sekaligus antara kekatolikan dan nasionalisme. Sudah sejak awal masa kepemimpinannya sebagai uskup Mgr. Soegijapranata berharap bahwa umat katolik tidak menjadi orang yang hanya berhenti sebagai orang yang hanya devotif pada hal-hal seputar liturgi, melainkan bergulat dengan kekatolikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dalam sambutannya dalam majalah Swaratama -yang pernah dipimpinnya- beliau menulis sebagai berikut:

Memang, tidak sedikit jumlahnya orang yang kemudian menjadi luntur, menjadi sama seperti kanan-kirinya, hilang kekhasannya sebagai Katolik. Sebagian malah menjadi enggan kalau ketahuan bahwa dirinya Katolik; bangga bahwa dapat menyatu dengan cara menyamar, berkulit bunglon. Betapa kasihan.

... Swara-Tama tidak bermaksud membujuk orang berkalung rosario, menjajar medali-medali, dan mendaras doa sepanjang jalan. Yang dituju (oleh Swara-Tama) adalah agar dapat memberi tuntunan dan melatih cara hidup Katolik lahir-batin, tidak memandang tempat, derajat kedudukan maupun asal-usul. Segala pengalaman hidup akan dibeber dan dibahas dalam kacamata Katolik, agar para pembaca senantiasa memegang tekad serta keyakinannya baik di gereja, di jalan, di tempat perjamuan, pekerjaan dan tempat hiburan, atau di mana pun tanpa perduli kanan-kirinya, agar jelas memperlihatkan bahwa kehidupannya telah dilandasi keyakinan akan kehidupan yang luhur"[xx]. 
Cara hidup katolik yang dimaksud oleh Mgr. Soegija bukanlah yang terpisah dari kegiatan hidup sehari-hari. Berulang kali dalam surat gembalanya sebagai uskup, Mgr. Soegija menjabarkan prinsip-prinsip kekatolikan tersebut dalam hal-hal praktis. Rama Mangunwijaya menggaris bawahi tentang keteguhan iman katolik dan kemurnian dalam kesusilaan yang perlu ditampilkan dengan kelemah-lembutan, kesabaran dan keramahan sebagaimana diajarkan oleh Mgr. Soegija dalam hidup menggereja dan bermasyarakat[xxi].

Semboyan terkenal dari Mgr. Soegijapranata "100% Katolik dan 100% Indonesia" -sebenarnya beliau lebih mengunakan kata patriot[xxii]- diungkapkan dalam pidato pembukaan KUKSI (Konggres Umat Katolik Seluruh Indonesia) II di Semarang tanggal 27 Desember 1954. Di hadapan umat Katolik yang berkonggres Mgr. Soegijapranata menyatakan:

...yang diperhatikan oleh masyarakat kita adalah apakah Gereja Katolik beserta umatnya itu ada gunanya, berdaya guna untuk negara dan Rakyat Indonesia ? Apakah umat Katolik Indonesia memiliki keberanian yang tangguh untuk turut mengisi kemerdekaan -yang telah berhasil dijangkau- dengan tata-tentrem, kertaraharja dan kemakmuran baik jasmani maupun rohani ?
Dalam kaitan dengan tantangan tersebut Mgr. Soegija menyatakan  "Jika kita benar-benar Katolik sejati sekaligus kita juga patriot sejati. Karenanya kita adalah 100% patriot, karena kita adalah 100% Katolik"[xxiii].

Untuk menanamkan kesadaran tentang "100% Katolik, 100% Indonesia" tersebut Mgr. Soegijapranata berkali-kali membeberkan pengertian tentang Gereja dan tentang negara serta peran keduanya secara timbal balik sebagai kerangka pemahamannya.

"Negara tugasnya memelihara, menyatukan, mengatur serta mengurus kehidupan rakyat dengan bertindak yang terarah pada kesejahteraan, ketentraman, kepentingan umum yang bersifat sementara, bersifat lahiriah dan duniawi. Sedang Gereja Katolik bertugas memelihara, membimbing dan mengembangkan kehidupan rohani manusia dengan mengurus segala hal yang ada hubungannya dengan agama, peribadatan, kesusilaan, kerohanian yang sifatnya tetap, kekal, surgawi dan mengatasi kodrat".

... Dengan menjamin ketentraman, norma-norma, kesejahteraan, budaya, dan hak-hak asasi, negara mempersiapkan suatu iklim yang perlu bagi perkembangan hidup keagamaan dan moralitas. Gereja Katolik dengan menjaga hidup keagamaan, moralitas, kejujuran, kesetiaan terhadap janji, keadilan, cinta kepada sesama, dedikasi terhadap pekerjaan dan lembaga; dengan cara mendidik untuk menaruh hormat kepada peminpin, dan mengarahkan untuk bertindak seturut hukum, berarti Gereja membangun suatu dasar yang kokoh bagi masyarakat dan pemerintahan."[xxiv] 
Dengan kedua pemilahan tugas dan tanggung jawab tersebut diungkapkan bahwa "negara menyiapkan suasana yang sangat penting demi mekarnya hidup keagamaan dan kesusilaan. Di sisi lain gereja memberikan dasar yang kokoh untuk hidup kemasyarakatan dan pemerintahan".

Terhadap kesadaran untuk memberikan pengabdian kepada gereja dan negara, Mgr. Soegijapranata berpesan kepada orang tua dalam pendidikan anak, 'Para Bapak dan Ibu, didiklah anak-anakmu dengan cara katolik dan nasional, agar senantiasa berkembang dalam kerohanian dan jasmaninya seraya memperhatikan agama dan bangsanya sehingga menjadi tertata, siap untuk menunaikan tugas rohaninya mau pun tugas biasa lainnya. Gemblenglah mereka dengan teladanmu ...'. Sedangkan terhadap kaum muda, Mgr. SOegijapranata menunjukkan sebutan yang mereka miliki sebagai 'kusuma bangsa dan harapan Gereja'[xxv].

Lebih lanjut, dengan menggunakan rumusan yang mirip dengan apa yang dikenang oleh I.J. Kasimo atas interpretasi Romo van Driessche terhadap pokok ke 4 dari 10 Perintah Allah, Mgr. Soegijapranata memberikan landasan moral sosial dan landasan teologis, bagi pengintegrasian kekatolikan dan nasionalisme. "Jika kita sungguh-sunguh Katolik sejati, kita sekaligus patriot sejati. Karenanya, kita merasa bahwa kita 100% patriot, justru karena kita adalah 100% Katolik. Lagipula, bukankah menurut perintah ke 4 dari 10 Perintah Allah -sebagaimana ada dalam Katekismus- kita wajib mencintai Gereja Kudus, juga, kita wajib mencintai negara, dengan seluruh hati kita". Selain itu beliau juga mengingatkan akan ajaran Yesus, "Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar, dan berikanlah kepada Allah apa yang menjadi hak Allah". 
Kekatolikan dan Nasionalisme Rama van Lith dan Mgr. Soegijapranata

Dalam dinamika usaha Rama van Lith terlihat bahwa paham nasionalisme yang dimilikinya bertolak dari situasi penindasan kolonial Belanda, sehingga yang diupayakannya adalah turut merintis pembebasan dari situasi ketertindasan[xxvi]. Sementara itu Mgr. Soegijapranata yang mengalami dua jaman -yakni periode di bawah penjajah dan periode kemerdekaan- sejak masa mahasiswanya telah menyumbang gagasan tentang kemerdekaan sebuah negara. Dan masa berikutnya sebagai uskup, Mgr. Soegija tetap menaruh perhatian terhadap perwujudan rasa nasionalismenya. Di balik paham nasionalismenya, Mgr. Soegija memandang pada dua wilayah yang menjadi tempat perwujudan nasionalismenya yakni dalam wilayah negara dan bangsa, sebagaimana dimengerti dalam teori bahwa dalam paham nasionalisme terdapat dua konsep yang tercakup di dalamnya yakni bangsa dan negara. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintah yang menjalankan fungsi sebagai negara yang berdaulat, Mgr. Soegija mengingatkan kepada para wakil rakyat mau pun kepada penyelenggara pemerintah. Dengan mengurai makna demokrasi Mgr. Soegija menunjukkan konsekuensi logis pada tugas yang harus diemban wakil rakyat[xxvii]. Dalam hal tersebut beliau mengingatkan tidak hanya pada wakil rakyat, sekaligus juga pada para penyelenggara pemerintahan akan nilai-nilai yang perlu dipegang dalam menjalankan fungsinya.

Dalam kaitannya dengan bangsa yang memiliki cakupan pada rakyat yang mendiami wilayah negara, Mgr. Soegija tidak hanya menyadarkan hak dan kewajiban umat Katolik sebagai warga negara[xxviii], namun sekaligus juga turut memikirkan hal-hal praktis untuk mengangkat kondisi hidup yang dimilikinya[xxix].
Kekatolikan dan Nasionalisme Sekarang itu Apa ?

Bagi umat Katolik, tantangan yang dirumuskan oleh Mgr. Soegija dengan ungkapan "yang diperhatikan oleh masyarakat kita adalah apakah Gereja Katolik beserta umatnya itu ada gunanya, berdaya guna untuk negara dan Rakyat Indonesia ?" masih tetap berlaku.  Dalam sebuah pengertian tentang nasionalisme yang didefinisikan sebagai 'usaha untuk menciptakan budaya dan pemerintahan yang mendukung suatu budaya dengan sebuah naungan politiknya yang mandiri' menjadikan nasionalisme sebagai sebuah realitas yang terus menerus perlu dihidupi, bukannya nasionalisme sebagai sebuah mitos masa silam atau pun slogan. Untuk menghidupi realitas ini sebagai orang Katolik perlu didukung dengan keteguhan dalam mempertahankan keutuhan iman  serta kemurnian kesusilaan.

Perkembangan jaman yang membawa masyarakat agraris menjadi masyarakat industrial yang dipenuhi karya teknologi memang menciptakan pula perubahan dari manusia-manusia agraris menjadi manusia-manusia industrial. Di sini  terciptalah pergeseran-pergeseran. Dengan demikian  perlu dilihat ke mana arah pergeseran-pergeseran tersebut tertuju. Demikian pun perlu dilihat dan dipikirkan sampai sejauh mana pergeseran-pergeseran berlangsung. Dalam hal ini perlu diingat bahwa pluritas masyarakat Indonesia berada dalam rentang panjang dari teknologi tungku -dalam praktek kehidupan masyarakat Irian dan sebagian Maluku adalah teknologi 'bakar batu'[xxx]- sampai teknologi komputer dengan internetnya yang mampu menjalin komunikasi mondial. Sebagian besar masyarakat Indonesia yang tinggal di pedesaan bukanlah pihak pemakai teknologi mutakhir atau pun yang telah siap untuk hal tersebut.  Dalam suasana ini mengintegrasikan kekatolikan dan nasionalisme perlu tetap di orientasikan kepada usaha yang memperhitungkan kepentingan masyarakat luas. Suatu usaha menjawab tantangan jaman demi penegakan keadilan menghadapi masalah keterbelakangan umat manusia, jurang perbedaan kaya-miskin, kemandirian dan kerjasama berbagai kelompok dan etnis. Dalam usaha  ini berlangsung dinamika pewartaan iman dan penegakan keadilan. Bukan sebagai sebuah gerakan fanatisme atau separatisme yang terkontak-kotak dalam ideologi agama, melainkan mengintegrasikan pewartaan iman dalam usaha pembelaan kepada yang kecil, lemah, terbelakang dan tertindas sebagai missi dari Gereja yang hadir di tengah dunia yang merupakan bagian integral dari umat Allah yang dalam pejiarahan untuk menanggapi Misteri Penyelamatan Allah. Sebuah tantangan yang perlu jawaban baik lewat pemikiran namun lebih-lebih dalam tindakan.

Mengakhiri renungan pengintegrasian kekatolikan dan nasionalisme dalam mengenang seabad kehadiran kedua tokoh pelopor dalam bidang tersebut, berikut ini sebuah pesan Mgr. Soeegijapranata dalam pembukaan KUKSI Desember 1954 untuk mengawali diskusi-diskusi yang akan dilangsungkan dalam kesempatan tersebut:

"Semoga para saudara terkasih di dalam musyawarah senantiasa berlandaskan pada azas Katolik yang luhur ini: in dubiis libertas, in necessariis unitas, in omnibus caritas [xxxi], yang artinya: dalam perkara-perkara yang masih meragukan kiranya ada kemerdekaan, dalam perkara penting dan genting kiranya saling bersatu, dan dalam segala hal agar saling mencintai".

 Kiranya prinsip tersebut tetap dapat menjadi titik tolak dalam bermusyawarah mau pun menjadi pedoman bagi cara bertindak dalam kehidupan bersama mewujudkan kekatolikan dan nasionalisme yang terarah kepada pewartaan iman dan penegakan keadilan dengan sikap terbuka untuk berdialog.

Penulis: Romo G. Budi Subanar SJ
*****
Pernah dimuat dalam buku Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II. Refleksi dan Tantangan, Yogyakarta, Kanisius, 1997, hal. 419-441

Catatan Kaki:

[i]Kisah van Lith selanjutnya dapat dibaca dalam “Sejarah Gereja Katolik di Wilayah Keuskupan Agung Semarang” karangan J. Weitjens, SJ dalam buku yang diedit M.P.M. Muskens,  Sejarah Gereja Katolik Indonesia, III B, Ende, Percetakan Arnoldus, 1974, hal. 843-902

Sebagian kisah van Lith yang lain dapat pula dibaca dalam buku biographi I.J. Kasimo. Tim Wartawan Kompas dan Redaksi Penerbit Gramedia, I.J. Kasimo Hidup dan Perjuangannya terbitan PT Gramedia 1980

 [ii]Meyesuit Lewat Kolsani, Internos Edisi Khusus, Februari 1993, hal. 28-29

 [iii]Tentang bagaimana suasana kelas, tatkala Rama van Lith mengajar, sebuah tuturan pengalaman menuliskan demikian:

Di samping mendongeng tentang masa lalu dan masa yang akan datang, juga Rama van Lith juga membagikan 'geblèg' -makanan khas Kulon Progo, Jawa Tengah terbuat dari tepung ketela- sambil berucap, 'Iki tanda tresna, bocah'. (Anak-anak, ini adalah tanda cinta kasih.)  

Swaratama, edisi khusus Januari 1926. Agaknya -dari kesaksian murid-muridnya- metode bercerita sejarah cukup banyak digunakan Rama van Lith untuk mengajak anak menelaah sejarah yang membuka perspektif ke masa depan.

 [iv]Masa di mana Rama van Lith mengawali karyanya di bidang pendidikan, bertepatan pula dengan kenaikan jumlah peserta didik dari kalangan pribumi di sekolah-sekolah.

Tabel jumlah murid sekitar tahun 1900 di ELS -Europeesche Lagere School- Sekolah Dasar untuk anak-anak Eropa yang juga menerima siswa pribumi dalam jumlah tertentu berikut ini kiranya dapat memperlihatkan perkembangan jumlah murid anak-anak pribumi:

 Thn.  Murid    Eropa   Asing non   Indonesia       Kristen

                         Eropa             termsk pribumi

--------------------------------------------------------- 

1890  11.421     148         808         338          144

1895  12.690     185       1.135         391          159

1900  13.592     325       1.545         557          169

1905  15.105     525       3.725       1.046          184 

---------------------------------------------------------

Bernard Dahm, History of Indonesia in the Twentieth Century, London, Pall Mall Press, hal. 15-17

 

[v]F. van Lith, SJ, De Politiek van Nederland Ten Opzichte van Nederlandsch-Indie, 's Hertogenbosch-Antwerpen, L.C.G. Malmberg, pp. 27-28; dikutip dan diterjemahkan dalam bahasa Inggris: M.P.M. Muskens, Partner in Nation Building, Missioaktuell, Aachen, 1979; dalam bahasa Indonesia dikutip dalam buku biografi I.J. Kasimo

 [vi]Lihat buku I.J. Kasimo

 [vii]Kesaksian J. Sastradwija ditulis di Gemolong Februari 1926

 [viii]Testimoni J. Sastradwija

 [ix]I.J. Kasimo, hal.13

 [x]Bernard Dahm, History of Indonesia, hal. 1-2, 226

 [xi]Herzieningcommissie adalah komite yang dibentuk untuk memberikan bahan-bahan konsultasi dalam rangka persiapan pembentukan sistim pemerintahan baru di wilayah koloni. Dalam menghadapi kecenderungan dari pihak-pihak wakil orang-orang Belanda yang tidak menguntungkan kepada kaum pribumi, Rama van Lith secara keras menentang sistim perwakilan yang tidak menguntungkan kaum pribumi tersebut.

 [xii]F. van Lith, De Politik, hal. 41

 [xiii]F. van Lith, De Politik, hal. 9

 [xiv]Testimoni J. Sastradwija

 [xv]Selain memperjuangkan kesetaraan dengan kaum kolonial, Rama van Lith juga banyak mendalami bahasa (Jawa) dan mengungkapkan dorongan-dorongannya memperkembangkan pendalaman akan hal ini untuk menemukan identitias kepribadian dan budayanya sendiri.

 [xvi]Tom Jacobs, “Frans van Lith: Perintis Gereja yang Baru”, dalam ROHANI 31 (1984) hal. 331-340

 [xvii]E. Djajaatmadja, SJ, “Mikul Dhuwur Mendhem Jero”, dalam: A. Budi Susanto, SJ (ed.), Harta dan Surga, Peziarahan Jesuit dalam Gereja dan Bangsa Indonesia Modern, Yogyakarta, Kanisius, 1990, hal. 107-120

 [xviii]M. Henricia, Mgr. Abertus Soegijapranata, S.J., Ende, Nusa Indah, 1975, pp. 14-15; Praba 5 Agustus 1956, hal. 181

 

[xix]Mingguan Swaratama No. 34/XX/ 21 Agustus 1940; Praba 5 Agustus 1956, hal.184

 [xx]Swaratama XXI, 7 Mei 1941

 [xxi]Y.B. Mangunwijaya, “Mengenang seorang Gerejawan Besar”, dalam A. Budi Susanto, SJ (ed.) Harta dan Surga, hal. 165-192
[xxii]Dalam Sambutan Malam Natal 25 Desember 1957 melalui Radio, Mgr. Soegijapranata menjelaskan arti nasionalisme dan patriotisme  yang keduanya bermuara pada landasan iman kepada Tuhan. Praba, 15 Januari 1958, hal. 15 
[xxiii]Penegasan terhadap hal ini dapat juga dikaitkan juga dengan issue selama pendudukan Jepang yang menyebut 'orang-orang katolik sebagai tidak nasionalis' Surat Gembala Ulang Tahun 12,5 tahun Tahbisan Uskup, 9 Pebruari 1953.
[xxiv]Sambutan dalam KUKSI di Semarang 27 Desember 1954, Sambutan dalam pertemuan PMKRI di Yogyakarta 25 September 1955, Sambutan dalam Pertemuan MKI di Magelang 10-13 April 1958, Sambutan dalam MusyawarahPengusaha-pengusaha Katolik Vikariat  Semarang di Girisonta, Ungaran 9-10 Mei 1959, Surat Pastoral Masa Prapaskah 7 Februari 1961
[xxv]Surat Gembala Masa Prapaskah 6 Februari 1956
[xxvi]Keyakinan Rama van Lith disitir oleh Soekarno dalam pembelaannya di pengadilan Bandung pada tanggal 2 Desember 1930. I.J. Kasimo, hal. 25
[xxvii]Dalam Surat Gembala "Salus Populi Suprema Lex: Kesejahteraan Rakyat sebagai Undang-uandang yang Paling Luhur", Mgr. Soegija menulis:

"... yang disebut 'hoi aristoi' atau para bangsawan serta muliawan pilihan rakyat itu bukan karena asal usulnya, melainkan karena luhurnya budi pekerti, perhatian, kemampuan, kepekaan dan kesusilaannya. Karenanya harus tanggap terhadap sifat dan keadaan bangsa serta tanah airnya, paham terhadap seluk-beluk pemerintahan, paham dan mendalami panas-perih, kesulitan dan penderitaan bangsa, paham terhadap gejolak nasional dan internasional, meyakini kewajiban dan tanggung jawabnya, penuh kesetiaan terhadap kesanggupan dan sumpahnya".
[xxviii]Mgr. Soegija mengajak, "Umat katolik perlu memberi teladan dengan cara menaruh hormat kepada pemimpin pemerintahan dan gereja secara tulus lahir-batin, tidak perduli bagaimana kehidupan pribadi pemimpin tersebut. Karenanya tidak boleh menganggap sepele, sembrono dan sembarangan membicarakan keburukan, artinya mencela terhadap pemimpin. Kebaikannya perlu diperhitungkan, keburukannya perlu dijelaskan". (Surat Gembala Masa Prapaskah 16 Februari 1957) Sikap terakhir ini dapat dilihat sebagai perkembangan dari sikap yang  pernah dinyatakan beliau beberapa waktu sebelumnya "...kalau tidak dapat menunjukkan kebaikan atau keutamaan pemimpinmu, lebih baik tutup mulut dan diam". (Pelantikan anggota baru PMKRI di Yogyakarta, 25 September 1955)
[xxix]Dalam Surat Gembala masa Advent 24 Nopember 1957 Mgr. Soegija berbicara tentang budaya hutang serta mengecam praktek lintah darat. Sekaligus mengusulkan adanya perkumpulan-perkumpulan untuk menanggulangi masalah lintah darat. Dalam berbagai kesempatan lain usulan untuk membentuk organisasi yang membantu masyarakat lemah tersebut terus dikemukakan. Dengan mendasarkan pada sila-sila Pancasila sebagai azas perkummpulannya diharapkan sebagai sumbangan bagi kesejahteraan bangsa dan negara sekaligus sebagai persiapan bagi berdirinya gereja lokal:

"Yang amat menarik perhatian kami dalam Konperensi ini, ialah bagaimana kita dapat ikut serta memperbaiki masyarakat kita dengan mengatur para penjual, pedagang, pekerja, buruh, majikan, justru (juga?) petani dalam suatu organisasi yang berdasarkan Ketuhanan, Perikemanusiaan dan kecintaan, sebagai sumbangan kesejahteraan Negara, Nusa dan Bangsa.

Dengan jalan ini kami berharapan akan terbentuknya masyarakat Katolik yang meliputi segala lapisan masyarakat, yang cukup teratur dan maju dalam bidang rohani dan jasmani sebagai persiapan berdirinya Hierarkie." (Sambutan dalam Musyawarah Sosial-Ekonomi Wilayah Vikariat Semarang untuk Buruh dan Tani di Mertoyudan, Magelang, 30 Desember 1958-2 Januari 1959)
[xxx]'bakar batu' adalah suatu cara untuk membakar umbi-umbian yang dilakukan dengan cara pertama-tama memanaskan batu, kemudian memasukkan batu-batu panas tersebut ke dalam tanah dan diatasnya diletakkan umbi-umbian yang dimasak, kemudian ditimbuni tanah sampai akhirnya umbi-umbian tersebut masak.
[xxxi]Ungkapan ini juga muncul dalam dokumen Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II Gaudium et Spes bagian kesimpulan (GS 92) yang mengingatkan pada pentingnya persatuan umat Allah yang diwarnai kerjasama, sikap hormat, harmoni, dan pengakuan pada keberagaman, di dalam usaha menjalin dialog yang bermanfaat antar sesama. 

Comments