Pintar itu Ketika Kita Bisa Berbagi

Siapa yang mengaku pintar di sini? Kamu? Saya? Kita?

Seberapa pintar kita sesungguhnya? Siapa yang bisa mengukur? Nilai rapor? Hasil UAN? Cumlaud?

Kita boleh sombong dengan angka tinggi di kertas ujian. Kita juga boleh bangga dengan pujian atas pencapaian hasil memuaskan a.k.a cumlaude. Kita pun boleh simpan baik-baik nilai-nilai tanpa warna merah di rapor SD-SMA.

Tapi, apa selanjutnya yang bisa kita perbuat? Menikmati hasilnya sendirian? Bercermin sambil senyum-senyum sendiri dan mengatakan "gue itu pinter"? Berkarya untuk memenangkan suatu perlombaan dan kejuaraan tingkat internasional? Menjadi master yang dicari ketika menjadi orang yang super sibuk ke sana kemari mengikuti kompetisi?


Hehehehe.... banyak lho yang seperti itu. Mau nambahin?

Tau gak sih banyak juga orang yang sebenernya "iri" sama kemampuan tersebut. Ehem... iri? ya, maksudnya bisa dalam kondisi "pintar", dicari semua orang, menjadi sumber pengetahuan. Kayanya yang terakhir ini terlalu berlebihan sih.

Intinya mereka juga ingin menjadi cerdas dalam bidang akademis. Bisa menghitung, pandai rumus, cerdas bertutur dan merangkai kata, berwawasan luas, dan sebagainya. Tapi kita lihat sendiri kondisi Indonesia yang belum sempurna betul menangani anak-anak terlantar (dan ditelantarkan) juga mereka yang tidak terlantar tapi tidak bisa mengenyam pendidikan. Alasannya?? Mahal. Pendidikan itu Mahal. Jadi pintar itu Mahal. Itu menurut mereka.

Nyatanya, image itu tidak akan terjadi bila orang-orang cerdas itu, mereka yang pintar itu, mau berbagi ilmu kepada yang lainnya.

Saya punya kawan yang saat ini bekerja sebagai reporter di salah satu televisi swasta. Hampir dua tahun dia bekerja di sana. Cukup lama memang, tapi lebih lama lagi waktu yang dia berika untuk anak-anak jalanan di Pasar Rebo, Jakarta Timur. Apa yang dia lakukan?

Sudah hampir lima tahun dia bersama beberapa teman lainnya memberikan pendampingan bagi anak jalanan di Pasar Rebo dan sekitarnya. setiap Sabtu dan Minggu, mereka selalu menyambangi kolong jembatan, tempat dimana anak-anak biasa nongkrong. Beralas tikar dan terpal seadanya, mereka pun menggelar alat tulis, mainan, dan beberapa buku bacaan untuk anak-anak. Tentunya tidak semua anak-anak mampir ke situ. Karena bagaimanapun, mereka mengakui bahwa keberadaannya tidak 100% disenangi oleh "penghuni jalanan".

Namun tekad dan semangat mereka tidak pudar, dan perjuangan mereka pun justru berbuah hasil. Tahun 2010 lalu, mereka akhirnya dapat mewujudkan sebuah rumah singgah yang terletak di dalam Pasar. Di sinilah mereka melanjutkan karya mereka untuk berbagi ilmu. Tidak hanya belajar membaca, tapi mereka juga mengapresiasi anak-anak yang senang musik. Mereka belajar berhitung, membaca, mengenal dunia, dan lain-lainnya. Namun demikian, pendidikan formal itu penting. Maka mereka pun tetap berupaya agar anak-anak itu berani untuk kembali ke sekolah.

Apa hal?

Saya sendiri sekarang hanya mengoptimalkan dan memaksimalkan kemampuan yang sudah saya pelajari dan terima selama 4,5 tahun. Saya senang ketika orang mengajak saya untuk terlibat dalam dunia yang sesuai dengan kemampuan saya. Saya juga senang ketika orang tertarik mengenal kemampuan yang saya punya. Maka saya pun berbagi. Karena saya sadar, pendidikan formal itu pertama-tama untuk memenuhi syarat dan standar kualifikasi sebuah instansi. Namun di luar itu semua, banyak hal yang bisa dipelajari. Bertemu orang baru pasti mendapat pengalaman baru, maka ada ilmu baru yang pasti didapat. Semakin banyak orang belajar dari kita, berarti kita memang tidak melupakan ilmu kita sendiri. Positifnya, kita semakin terasah dan terasah lagi. Kita mungkin bisa lupa, tapi kita juga bisa selalu ingat. Maka, berbagi ilmulah dengan sesama. Salam.

Comments