memahami moderatisme lintas agama


Follow Up Training - Day #1.1

selasa, 27 maret 2012, bertempat di hotel century park, atau yang biasa disebut hotel atlet, aku bersama 30 orang perwakilan dari beberapa lembaga, berkumpul untuk sharing dan diskusi aktif tentang pluralisme, perdamaian dan lintas agama. kegiatan ini akan berlangsung selama 4 hari kedepan, yakni 30 maret 2012.

pertemuan ini dinamakan follow up training, penguatan toleransi di kalangan tokoh muda lintas agama, sebagai sebuah kelanjutan dari kegiatan yang beberapa waktu lalu diadakan di jayapura. kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan penguatan moderatisme tokoh muda lintas agama yang diselenggarakan oleh Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang didukung oleh US-AID dan Serasi dalam penyelenggaraan kegiatannya.

penguatan-penguatan seperti ini perlu dilakukan secara simultan agar para peserta pelatihan benar-benar bisa menjadi ujung tombak dan agen-agen perdamaian di komunitasnya masing-masing. "penguatan pemahaman moderatisme keagamaan para tokoh muda lintas agama ini sangat mustahil terjadi apabila hanya aspek kognitifnya saja yang dicapai, tanpa adanya perubahan-perubahan di aspek afeksi dan psikomotoriknya," tukas Sholehudin, koordintor program.

kegiatan yang dilakukan di Papua merupakan kerjasama dengan beberapa lembaga seperti Majelis Muslim Papua (MMP), Sinode GKI dan Keuskupan. dari kegiatan tersebut menghasilkan dua komunitas atau jejaring. di jayapura mereka punya PELITA (pemuda lintas agama), sedangkan di manokwari mereka menyebutnya JARILIMA (jaringan solidaritas kaum muda lintas agama). "melalui follow up ini tujuannya untuk memperluas jaringan perdamaian, tidak hanya di Papua, tapi juga lintas agama di Indonesia," terang irfan Abubakar, direktur CSRC.

alasan mengapa anak muda yang menjadi sasaran, menurut Kusno Dermawan, salah satu perwakilan dari US-AID Serasi adalah karena anak muda memiliki jalan dan cita-cita sendiri yang ingin dicapai. "anak muda kita tidak ingin berkonflik. mereka punya jalan sendiri, yang ingin dicapai," tegasnya.

mengenai pluralisme, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyampaikan bahwa agama hendaknya menjadi filsafat, gaya hidup bagi pemeluk agamanya dan ketika masuk ke ruang publik, hukum agama tidak berlaku. "kalau kita hanya melihat indonesia kaya alamnya, itu imperialisme dan akan merusak relasi antar kita. maka lihatlah indonesia sebagai negeri yang kaya akan bangsa dan budaya, ini yang perlu kita kembangkan," tukasnya.

ia juga menegaskan bahwa hanya dengan pendidikan, SDM akan berkembang dan dengan demikian, alam akan sungguh bermakna. "nasionalisme di indonesia itu base on civic values, diikat dengan cita-cita yang mulia, tapi republik ini sudah berjanji membangun peradaban bangsa indonesia, maka harus dipenuhi," tambahnya.

pemahaman bersama yang diharapkan adalah bahwa indonesia merupakan negara sekuler. meskipun demikian, warganya didorong untuk hidup beragama, tapi hanya untuk pribadi, bukan negara. karena agama bukan milik negara.ami

Comments